Posted by: hagemman | July 31, 2010

PEMEKARAN WILAYAH, DISTRIBUSI, DAN REPRESENTASI

Pemekaran wilayah kembali menjadi sentral perdebatan publik. Namun, seperti hari-hari sebelumnya hampir tak ada penjelasan baru kecuali eksploitasi berlanjut atas watak patologis gejala ini.

Korupsi, penyalahgunaan wewenang, inefisiensi, ketamakan elite, kebangkitan politik etnis, egoisme, oligarki, dan sejenisnya diproyeksikan sebagai penyakit kronis daerah baru. Beberapa di antaranya diandaikan sebagai penjelas di balik maraknya usul pemekaran. Penyakit-penyakit ini diisolasi dari tata kelola kekuasaan Indonesia secara umum.

Padahal, tak satu pun khas daerah pemekaran : semua penyakit normal Indonesia. Karena itu, penting bagi kita keluar dari jebakan analisis penstereotipan patologis ini. Analisis yang mengriminalisasi kebijakan sendiri. Ini agar jalan keluar yang lebih masuk akal bisa ditemukan.

Problema distribusi

Maraknya usulan pemekaran punya penjelasan bervariasi. Namun, data 10 tahunb terakhir menunjukkan lebih dari 90 persen tuntutan datar dari luar Jawa dan Bali. Ini merefleksikan dua hal : kronisnya persoalan distribusi di luar Jawa ; dan sebaliknya, mulai melangkahnya Jawa dan Bali ke fase akumulasi sebagai prioritas. Luar Jawa masih terus bergulat dengan isu distribusi, sementara di Jawa dan Bali – sebab infrastruktur pemerintahan dan fisik sangat stabil, serta tingginya kapasitas produksi – aksesibilitas setiap jengkal wilayah ke barang publik bukan lagi isu.

Jika hal di atas disepakati, kita akan sepakat pula, cara paling masuk akal mengurani hasrat memekar diri adalah penyelesaian secara sistematis persoalan distribusi ini. Pelarangan melalui intimidasi wacana lewat pemberitaan negatif media ; intimidasi politik melalui “moratorium” dan ancaman pembubaran atau penggabungan ; intimidasi teknokrasi melalui ancaman pengurangan dan penundaan DAU ; ataupun intimidasi legal melalui pencabutan klausul UU yang memberikan celah bagi pemekaran, bisa dipastikan akan menyusutkan gairah pemekaran.

Risikonya sangat besar. Perrtama, hasrat mendapatkan ruang keadilan ditsributif lewat pemekaran boleh jadi akan bertukar wajah jadi sesuatu yang ekstrem. Kedua, potensi kebijakan pemekaran sebagai instrumen mewujudkan atau melindungi kepentingan nasional bisa terkubur bersamaan dengan ditutupnya peluang pemekaran.

Salah satu kelemahan regulasi di sekitar pemekaran adalah menempatkannya sebagai properti dan kepentingan daerah. Negara nasional diandaikan tak punya kepentingan atau, setidaknya, netral. Tengok saja berbagai kriteria dan prosedurnya. Semua berbicara tentang daerah. Yang terlewatkan justru kepentingan nasional – melindungi integritas teritorial dan memastikan kehadiran negara secara lebih kongkret di tengah rakyatnya – yang sangat mungkin difasilitasi melalui instrumen ini.

Pemekaran mestinya bisa sebagai dasar legal bagi pusat untuk menginstalasi infrastruktur pemerintahan di kawasan perbatasan. Kawasan, karena lemahnya kapasitas governability negara, sering dihadapkan pada persoalan. Kealpaan negara di banyak kawasan terisolasi untuk jangka waktu sangat lama mestinya bisa dijembatani jika negara nasional bisa berinisiatif menghadirkan diri secara lebih kongkret lewat kebijakan ini.

Kembali ke distribusi. Sebagian ketimpangan merupakan fungsi dari rendahnya kapasitas negara dalam memproduksi barang-barang publik. Kita belum mampu menghasilkan dokter dan paramedik atau guru yang setara kebutuhan. Kapasitas finansial kita pun belum cukup membiayai berbagai aktifitas yang mewakili kehadiran negara sebagai pelayan : pembangunan infrastruktur dan sebagainya.

Namun, sebagian persoalan terletak pada kebiasaan kita mengelola barang publik yang masih tunduk pada hukum sederhana : melayani negara, bukan rakyat. Penyediaan rumah sakit (RS), misalnya, sepenuhnya mengikuti logika level pemerintahan. RS kelas tertentu hanya bisa dibangun di level pemerintahan tertentu, bahkan sebatas di ibu kota. Tak aneh jika pergulatan kebanyakan daerah ditandai dua kecenderungan : berjuang jadi daerah otonom di tahap awal dan berkelahi memperebutkan ibu kota di fase selanjutnya.

Dalam sejumlah kasus, hal terakhir ini berakhir dengan pertumpahan darah. Yang dipertengkarkan sederhana : penempatan barang publik. Distribusi modal nasional pun berjalan dalam logika setara : porsi terbesar uang republik didedikasikan untuk Jakarta, lalu provinsi, diikuti kota/kabupaten. Lapir pemerintahan berikutnya praktis dapat sisa-sisanya.

Karena itu, pemberian perhatian lebih serius melalui penataan kembali sistem distribusi sumber daya nasional merupakan solusi mendasar. Secara empiris kita harus bisa mengembangkan kebiasaan pengelolaan barang publik : sebuah RS kelas atas, misalnya, bisa hadir di sebuah pulau terpencil atau pedalaman yang bukan ibu kota tanpa melahirkan sengketa administrasi dan politik. Untuk itu, desain kelembagaan pemerintahan perlu dirancang balik. Kita perlu memfungsikan kecamatan (atau distrik dalam konteks Papua) sebagai mata rantai terdepan sistem pelayanan sehingga penyebaran barang publik bisa berada dalam jarak masuk akal.

Representasi

Problem lain yang berada di balik hasrat menggebu pemekaran adalah representasi. Hasil riset panjang UGM mengindikasikan seriusnya persoalan ini. Kecenderungan untuk melayani kawasan atau kelompok primordial sendiri sambil mengecualikan kelompok lain adalah fenomena yang luas berkembang di daerah-daerah. Ditutupnya akses suatu kawasan atau kelompok primordial dari wilayah pengambilan kebijakan – bahkan sekadar menjadi PNS – adalah gejala yang sama luasnya.

Kita, sialnya, belum memiliki instrumen pencegah. Namun, hal ini harus juga jadi perhatian serius. Pembentukan UU yang menjamin hak warga negara menuntut otoritas politik jika diperlakukan diskriminatif untuk mendapatkan akses ke pelayanan atau ke arena publik boleh jadi akan jadi alat legal penting. Namun, bisa dipastikan ini saja jauh dari memadai. Kita membutuhkan instrumen yang bisa menjadi kesepakatan sosial sesama warga bangsa : kita adalah Indonesia.

Di sinilah pentingnya transformasi mdoel kewargaan yang bercorak ethnos, warga dari komunitas primordial, menjadi demos, warga negara yang secara politik aktif sebagai basis dari pembangunan kewarganegaraan. Ini pekerjaan pembangunan karakter bangsa yang membutuhkan enenrgi dan kesepakatan kita bersama. Kita bisa saja memulai dari hal sederhana : mentransformasikan KTP kita dari dokumen bukti warga desa menjadi alat bukti kewarganegaraan Indonesia sebagai negara bangsa.

Sumber  : Pemekaran Wilayah, Distribusi, dan Representasi | Cornelis Lay, Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM | Kompas, 10.06.2010


Leave a comment

Categories