Posted by: hagemman | July 31, 2010

OTONOMI DAN DISTORSI PERDA INVESTASI

Dari perspektif kelembagaan, kinerja investasi dan ekonomi suatu negara atau daerah adalah fungsi dari kualitas tata kelola sektor publik, termasuk kebijakan dan kapasitas aktor (birokrat) dalam penerapannya.

Pranata makro ini berpengaruh besar pada tingkat produktivitas usaha (mikro) dan daya guna endowment factors seperti sumber daya alam dan letak wilayah. Sepanjang satu dasawarsa pelaksanaan desentralisasi dan otonomi di Indonesia, contoh paling sering disebut untuk menggambarkan mutu buruk governansi adalah keberadaan peraturan daerah (perda) bermasalah.

Dari sisi pemerintah daerah (pemda), perda adalah instrumen manifestasi kewenangan otonom daerah. Kualitas perda mencerminkan wajah otentik otonomi dan mutu pengelolaan kewenangan yang dimiliki pemda. Dari sisi pengusaha, perda jadi sinyal awal, kesan pertama, buat menakar komitmen “ramah” investasi perda. Ia semacam tes kolesterol dalam menguji kesehatan lingkungan usaha secara menyeluruh sekaligus peringatan dini datangnya berbagai penyakit ikutan lain.

Sesat pikir

Faktanya, perkembangan diskusi dan upaya perbaikan mutu perda sejauh ini masih berada pada tahap elementer. Hasil riset dan interaksi di lapangan menunjukkan, setelah 10 tahun otonomi, ranah masalah berputar pada sebab-sebab lama, yang semestinya hanya tipikal isu di awal kita bereksperimentasi dengan kebijakan besar itu.

Alih-alih teratasi, masalah yang ada semakin hari justru “diperkuat” masalah berikutnya, termasuk yang saat ini jadi polemik adalah soal mekanisme baru pembatalan perda di tangan presiden.

Pertama, kebijakan desentralisasi kita kental karakter institusionalnya, sementara implikasi terhadap perubahan kultur berpikir baru terasa lemah. Paradigma pengelolaan pembangunan masih bermodel state-led development, ekonomi diurus secara terpimpin oleh negara (pemda), tak peduli fakta bahwa hanya seperlima PDB/PDRB berasal dari kontribusi belanja pemerintah. Warisan pikir kuno ini menjebak pemda pada sindrom rezim pungutan : menumpuk modal, pajak, dan retribusi guna membiayai pembangunan. Alih-alih swasta didorong maju, mereka cuma jadi sapi perah.

Kedua, desain desentralisasi fiskal yang central government heavy membuat otonomi fiskal pemda tak kunjung tegak. Sebagian besar uang yang beredar di daerah “milik” Jakarta, baik dalam skema transfer maupun sektoral. Rerata kontribusi daerah masih berkisar 15 persen (tidak sedikit kabupaten/kota malah di bawah 10 persen) terhadap total APBD mereka. Dari segi politik, administratif, hingga soal harga diri, otonomi yang tak mandiri secara fiskal semacam ini dinilai sebagai gangguan.

Ketiga, kapasitas legislasi daerah amat lemah, tidak saja pada aspek teknis legal drafting, tetapi terutama pada substansi assessing legislation. Seperti halnya pusat, proses legislasi di daerah masih berpola birokratis, prosedural, kurang inovatif dengan mengadopsi alat bantu ilmiah seperti instrumen regulatory impact assessment (RIA). Sering perda asal dibuat, bahkan dihitung sebagai prestasi dan kebanggaan kepala daerah/DPRD, tanpa menghitung serius biaya dan manfaat yang luas secara sosial, ekonomi, lingkungan. Fasilitasi pusat bagi penguatan kapasitas daerah tak banyak membantu lantaran difokuskan pada keterampilan teknis pereancangan ketimbang membuka horizon berpikir dan mendidik keahlian esensial semacam ini.

Keempat, data menunjukkan, sejak 2001 hingga April 2010, sebanyak 13.622 perda pajak atau retribusi telah dikirim ke pusat. Dalam hal kapasitas evaluasi, acungan jempol patut diberikan kepada Kementerian Keuangan yang telah mengkaji 13.252 perda, d engan 4.866 direkomendasikan batal ke Menteri Dalam Negeri.

Masalah justru muncul pada tahap pembatalan tersebut : sejauh ini baru mencakup 1.843 perda, sementara sisa sebesar 3.042 tak jelas statusnya ! Meski dari isi substantif ribuan perda itu sudah diketahui catat bermasalah, lantaran secara yuridis masih berlaku sah sebagai instrumen pungutan, pelaku usaha dan wajib pajak lainnya tak bisa menghindari tanggungan pungutannya.

Celakanya lagi, sebagai konsekuensi pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terhitung Januari 2010 otoritas pembatalan perda justru diangkat ke level presiden. Secara manajerial, ini jelas membawa beban tiada kira bagi presiden, sementara birokratisasi penerbitan peraturan presiden pembatalan perda di Sekretariat Kabinet pasti memakan waktu.

Dalam, konteks manajemen baru ini, tugas mendesak presiden adalah menyikapi status keberlakuan 3.042 perda carry-over, lalu mengantisipasi menjamurnya pungutan baru yang memang mendapat ruang lebih leluasa lagi dalam konteks UU No. 28/2009 saat ini. Suatu kerja yang serasa mustahil.

Jauh panggang dari api

Dari hitungan waktu, fase transisi 10 tahun ini mestinya bergeser ke fase konsolidasi desentralisasi. Ancaman involusi dan transisi permanen memang belum membayang, tetapi macetnya gerak perubahan pada sejumlah isu kunci seperti perda, iklim usaha, dan pembangunan daerah mulai membersitkan pertanyaan : desentralisasikah pilihan kita ?

Kita suluit meyakinkan dunia usaha, sebagai elemen yang paling skeptis, bahwa otonomi itu point of no return jika upaya pembuktian faedah riilnya justru jauh panggang dari api, untuk tidak mengatakan tendensi negatifnya.

Ini tantangan kita. Berbagai pokok soal di atas sekaligus jadi peta jalan perbaikannya. Yang dibutuhkan kemudian hanyalah tindakan koreksi, menata sistem yang tak bekerja, menyesuaikan diri ke alam pikir baru desentralisasi. Pusat dan daerah harus bersinergi melakukan semua itu, arah dan sikap tegas presiden jadi kunci pembuka sumbatan (de-bottlenecking).

Bukankah kita memiliki gagasan besar “Membangun Indonesia dari Daerah”, locus baru yang menentukan sekaligus paling problematik dalam pilihan strategi pembangunan hari-hari ini ?

Sumber  : Otonomi dan Distorsi Perda Investasi | Robert Endi Jaweng, Manajer Hubungan Eksternal Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta | Kompas, 20.07.2010


Leave a comment

Categories