Posted by: hagemman | December 2, 2009

PRASASTI UNTUK FREDDIE MERCURY

Setelah 18 tahun tutup usia karena AIDS, kiprah dan jasa Freddie Mercury diabadikan oleh rakyat Feltham, kota kecil di pinggiran London. Prasasti untuk Mercury yang diresmikan pada Selasa (24/11) itu diharapkan jadi inspirasi bagi etnis Asia yang bermukim di Inggris.

Mercury, vokalis band legendaris Queen, dikenang berkat penampilannya yang dramatis di panggung, mutu suara yang nyaris sempurna, dan hit-hit yang dramatis seperti “Bohemian Rhapsody”, “Don’t Stop Me Now”, dan “We are the Champions”. Namun, sedikit orang yang tahu bahwa ia remaja pemalu yang beremigrasi dari India melalui Zanzibar. Ia besar di Feltham, “kota asrama” yang kini bangga dengan legasi yang ditinggalkan Mercury.

Pengukuhan prasasti dilakukan oleh ibunya yang berusia 87 tahun, Jer Bulsara, dan sahabat Mercury yang juga gitaris Queen, Brian May, yang juga besar di Feltham. Prasasti berupa pualam putih yang dibangun di sebuah pusat perbelanjaan. “Saya Jer Bulsara dan Freddie putra saya,” kata sang ibu di hadapan sekitar 2.000 tamu. “Datang ke Inggris tahun 1964 membuka peluang baginya untuk mengembangkan talenta dan ambisinya,” sambung Bulsara.

“Feltham rumah pertama dia di Inggris setelah kami tiba dari Zanzibar. Di kota inilah dia memulai eksplorasi masa depan musiknya,” ujar Jer Bulsara lagi. Mecury lahir dengan nama Farrokh Bulsara di Zanzibar (Afrika) yang kini menjadi bagian dari Tanzania, tahun 1946. Keluarganya berasal dari etnis Zoroaster Persia, yang bermukim di Gujarat, India. Mercury sempat sekolah di India sebelum keluarganya pindah ke Zanzibar tahun 1964.

Saat emigrasi ke Feltham, Mercury berusia 17 tahun. Selain berpredikat “kota asrama”, Feltham yang terletak di barat London itu merupakan pusat perdagangan yang disesaki oleh gudang-gudang besar. Keluarga Mercury pindah dari Zanzibar untuk menghindari revolusi.

“Kami memang berencana pindah dan Freddie amat tertarik ke Inggris. Ia membaca buku dan majalah tentang Inggris dan bilang kepada saya, ‘Ibu, kita pindah ke Inggris saja’. Putri saya yang adik Freddie saat itu baru berusia 10 tahun,” tutur ibunya.

Adik Mercury, Kashmira Cooke, mengatakan, mereka sangat senang ketika tiba di Feltham. “Kami juga waswas karena harus menyesuaikan diri dengan sekolah baru, teman-teman baru, gaya hidup baru. Freddie merasa ia bisa mencapai tujuan hidupnya di sini, semenyata Zanzibar Cuma sekadar pulau tempat liburan. Ia amat bersemangat tatkala memulai hidup baru di sini,” ujar Cooke.

Ketika masuk Feltham, Mercury masih seperti murid sekolah dari India yang formal. Namun, perlahan-lahan ia mengubah citra berpakaian dan membiarkan rambutnya sampai gondring sekali. Sementara May mengenang bagaimana Mercury pada awalnya berpenampilan aneh untuk ukuran remaja Feltham, kota yang 17 persen penduduknya kini keturunan India. Salah satu bintang musik keturunan India dari Feltham adalah Jay Sean yang lagunya “Down”, menyodok ke tangga lagu di Amerika Serikat.

Lord Karan Bilimoria, tokoh India yang juga berasal dari etnis Zoroaster Persia, mengatakan, sukses Mercury merupakan contoh dari sukses industri musik Inggris. “Dulu sukar menembus dominasi bagi etnis-etnis lain, tetapi Freddie Mercury berhasil menembusnya menjadi teladan multikultutalisme serta kesempatan merata yang ditawarkan oleh Inggris,” ujar Lord Karan.

Kini penduduk Feltham berharap sukses Mercury menjadi inspirasi bagi artis-artis keturunan India seperti sean. “Freddie merupakan ikon, ia pelopor keturunan India yang sukses di dunia rock. Jerih payah dia besar dan walaupun pada awalnya sukar, ia berhasil menjadi artis sukses,” kata nggota DPRD, Paul Jabbar. “Sekarang banyak artis muda yang mulai berkiprah dan saya tak ragu akan banyak ‘Freddie Mercury’ baru pada masa mendatang,” ujanya.

“Prasasti ini memiliki daya tarik. Para remaja akan dayang dan menyaksikan sekaligus mengagumi prasasti ini. Mereka akan bilang, ‘Freddie bisa melakukannya, kita juga bisa’. Prasasti ini inspirasi besar. Feltham bukan kota yang glamor dulu mau pun sekarang dan menurut saya, kita tetap bangga dengan kota kita,” kata May. “Kita mengira jasa Freddie Cuma dikenang sesaat, tetapi ternyata berkesinambungan dan dunia ikut menikmatinya,” ujar Jer Bulsara.

Bukan tipe pengembara

Sejak kecil Mercury terbiasa mendengar musik India, musik rakyat, dan musik Inggris. Dia selalu menyanyi ketika mendengarkan piringan hitam (PH) koleksi orangtuanya dan selalu diminta menyanyi tiap ada pesta keluarga. Ayah Mercury, Bomi Bulsara, yang bekerja sebagai petugas pengadilan di Zanzibar, menyekolahkan puteranya ke Ealing College of Art untuk belajar musik.

Mercury terbiasa mengucapkan kata “darling” kepada lawan bicaranya. Kalimat terkenalnya yang sering diucapkan dan akrab di telinga wartawan adalah “Darling, yang saya inginkan dalam hidup adalah menghasilkan banyak uang dan menghabiskannya.”

Hanya sedikit orang yang kenal dekat dengan Mercury dan dari pengakuan beberapa sahabatnya, ia termasuk pemarah.

Suatu kali ia tiba-tiba masuk kamar hias dan melemparkan setrika ke cermin yang pecah berantakan karena terjadi kesalahan teknis di panggungkonser Queen malam itu. Bagi dia, kesempurnaan di panggung hal mutlak yang tak bisa ditawar. “Setiap orang mau menjalin hubungan baik hanya untuk saling menyenangkan. Kalau saya orang cuek, mendingan pulang saja daripada basa-basi,” kata Mercury.

Mercury, pribadi flamboyan yang bukan tipe pengembara, memcoba semua rahasia dunia seperti umumnya bintang rock – karena ia sendiri terlalu banyak rahasia. Sampai sekarang tempat penyimpanan abu jenazah Mercury masih dirahasiakan. “Tiba-tiba suatu hari Minggu setelah makan siang dia bilang, ‘Saya tahu di mana kamu akan menyimpan abu saya, tetapi saya tidak mau ada orang uang tahu. Saya tak mau abu saya digalu. Saya ingin istirahat dengan tenang,” ungkap Mary Austin, pacar sekaligus sahabat Mercury.

Kepada Austin, Mercury mengaku ia homoseksual. Austin yang enam tahun jadi pacar Mercury membuka rahasianya. Dan, Austin-lah yang merawat Mercury sampai  meninggal pada 24 Nopember 1991. Ia menjadi satu-satunya saksi ketika Mercury mulai buta, tubuhnya lemah hingga tak mampu lagi bangun dari tempat tidur. Dia tak mau lagi menjalani perawatan medis dan mengaku sudah berani menghadapi kematian.

“Freddie memutuskan mengakhiri pengobatan, memilih waktu kematiannya sendiri. Dia tahu sakratulmaut setiap saat akan menjemput. Tiba-tiba dia berkata, ‘Saya putuskan sudah saatnya pergi’. Dia meninggal dunia dalam damai dengan senyum,”  sambung Austin yang masih berusia 19 tahun ketika dikenalkan Mercury melalui May. Saat itu May dan Mercury sedang mendiskusikan nama band yang baru dibentuk. Mercury sejak awal ingin menamainya Queen, May lebih suka Built Your Own Boat.

Mereka langsung jatuh cinta dan hidup bersama. “Kami masih miskin dan harus berbagi kamar mandi dan dapur dengan pasangan lain,” kata Austin. Setelah pindah ke rumah lain, tak lama kemudian Queen meledak dengan hit “Bohemian Rhapsody”. Dan, setelah Mercury jadi bintang, Austin merasa tercampak karena pasangannya itu mempunyai banyak pacar lelaki.

Pacar terdekat Mercury adalah bekas penata rambutnya, Jim Hutton. Mercury tertular HIV tujuh tahun sebelum meninggal dunia dan Austin diwarisi 50 persen dari kekayaan Mercury yang ketika itu ditaksir sekitar 10 juta poundsterling, belum termasuk penghasilan tambahan dari kontrak-kontrak musik pribadi serta atas nama Queen yang nilainya tidak terkirakan. Sementara untuk keluarganya, Mercury mewariskan 25 persen dari kekayaannya.

Sumber  :

Prasasti untuk Freddie Mercury, Budiarto Shambazy
Kompas, 30.11.2009


Leave a comment

Categories