Papua Letters

Untaian kalimat adalah sebuah rekam jejak keberadaan. Pemaknaan yang adalah ekspresi perjalanan saat kita melangkah dari satu titik menuju titik lain dalam rentang dan kurun waktu fragmen keseharian hidup.

Maka ketika Papua menjadi sebuah wadah beserta kepenuhan-dirinya. Kita semua dapat memahami betapa luruh tanah ini dalam bayang kita bersama. Khususnya saat kita merasa wajib untuk bertukar keyakinan bahwa di tempat ini sejatinya bukanlah keterbelakangan dan keterbatasan melainkan justru sebaliknya.

Dalam konteks dimanakah lagi ada tempat di republik ini ; ketika sebuah gaya hidup sedemikian akrab bersinggungan dengan modernitas urban tanah Jawa ditampilkan ?  Kendati di Papua sini katakan saja aspek komersialitas sedemikian naif melahirkan sebuah celah buat pertarungan sekaligus peluang hidup bagi kaum pendatang. Serta banyak aspek lainnya yang terpantul salah oleh sebab kepakeman sudut pandang yang dianut oleh kita selama ini.

Atau hal ini timbul oleh sebab ketidak-tahuan kita sendiri yang sedemikian parah tentang Papua – sehingga yang tertinggal dalam benak sekadar romantisme dangkal. Padahal yang ada sesungguhnya melebihi relung-relung pemikiran kita serta melampaui batas-batas yang kita rasakan.

Jadi tidaklah soal bagaimana untaian kalimat dirangkai. Tidaklah menjadi soal lagi pemaknaan seperti apa yang akan dilahirkan. Semuanya dibaringkan dalam ranah kebebasan, seluas tanah Papua itu sendiri. Seperti Henry D. Thoreau (1817-1862) pernah menuliskan pertanyaan cerdasnya : kemanakah para pekerja telah pergi – saat ia memandang Tembok Besar Cina. Pada suatu siang nan terik dan kering.

Saat sebagian besar hati kita begitu enggan beranjak menyapa sesuatu yang asing dan berbeda …

Pilihan adalah merupakan persimpangan jalan. Ke kiri atau ke kanan adalah dua jalur yang harus ditempuh. Tanpa kita tahu ujung dari jalur yang akan kita tempuh. Hanya yang ajaib ketika pilihan telah diambil dan dilakukan – kita lupa ke arah mana telah kita pilih sebab ketika kaki dilangkahkan, jejak dibuat ; saat itu tak ada banyak tempat tersisa bahkan untuk sebuah pertanyaan.

Maka ketika langit Papua menyapa lewat awannya yang paling memukau di republik ini, kita tersadar dengan sesuatu yang lebih bernilai untuk bergegas dilakukan. Bagi mereka yang lebih membutuhkan perhatian dan bukan sekadar kenyangnya perut.

Tidaklah terlalu aneh ketika siapa pun akhirnya tahu betapa kaya melimpah tanah ini. Bahkan kenaikan harga bagi produk apa pun bukanlah sebuah persoalan untuk pantas menggelar demo di jalan-jalan. Pada kenyataannya di sini keseharian berjalan begitu urus.

Bisa jadi sebab waktu telah membeku di Papua. Yang ada hanya hembus pesona keabadian yang mampu menyihir siapa pun adanya. Jika di Jakarta berdesakan, di sini yang ada adalah keluasan tak terperi. Jika di Jakarta para penjahat klimis keren berdasi, di sini yang ada adalah kegarangan lembut. Artinya, kepakeman telah dijungkir-balikan.

Dan itulah Papua.

Untuk itu mari kita simak surat-surat dari Papua yang ditulis Aldia, dengan gaya bahasa dan ekspresinya sendiri …

Surat Pertama

17 Juni 2010?! 2 bulan lebih 9 hari? Iya, kabar baiknya, sudah sedemikian lamanyalah saya (Maria Aldia Vidianthi. 20 tahun. “I am a girl that still in a press to be a woman.”) berada di Indonesia, Papua, lebih tepatnya di Nabire dan kabar buruknya, sudah sedemikian lamanyalah saya menunda untuk memposting sesuatu di kolom Papua Letters di blog Ayah saya ((Papa.) Tan Hendrikus Handy Asikin.), Nasi Petjel Elektriek yang selalu up to date ini karena proses adaptasi di mana saya pernah sibuk merasakan getar-getir cinlok (Cinta lokasi.) yang berakhir pada kesadaran kedua belah pihak untuk fokus mengutamakan hal-hal dan meraih sesuatu-sesuatu yang lebih penting booo, hahah…, juga…, sempat teler (Sempat sebal-marah-sempat sedih-nangis berhari-hari, secara diam-diamlah, gelonya, kepada diri sendiri…) gara-gara bisul, yayay, di dalam proses merawat dan memberantas bisul bermata empat yang menclok di paha kiri belum lagi bisul bermata satu yang menempel tak berperasaan di paha kanan sayaaa?! =3

.~~~.

Papua… =^.^= Nabire… Sejak saya berusia belum genap satu bulan di dunia ini, saya berani pastikan, saya tidak pernah mempunyai rencana untuk menginjakan kaki bahkan meninggalkan banyak jejak kaki saya selama beberapa bulan di sini dengan maksud-maksud dari Tuhan ((Father; Daddy.) Jesus Christ. o^-^o) yang sama sekali wow, iya, tidak jelas bagi saya sehingga wajar bukan kalau seseorang bertanya kepada saya, “Ngapain kamu ngendon di Timur, Al, ga ada mall-ga ada McD-ga ada ini-ga ada itu-blablabla?” maka tidak jarang saya menjawab pertanyaan itu dengan jawaban, “Liburan. Cuci mata. Aku sumpek di Jawa. Aku mau mendapatkan suasana baru, iya, pengalaman baru, aha, aku mau membuka wawasanku.”??? n(“~”)n #123*abc#!!!

But… Honestly… Dulu entah kenapa sering sekali saya menjawab pertanyaan mantan kekasih saya ((Koko; O’oh.) Agustinus Alvin Budiono.) dengan jawaban, “Papua. Nabire.” ketika dia bertanya kepada saya, “Di mana nanti kita berumah tangga ya?” bah reaksi-reaksi dia yang lebih banyak sih dia menolak mati-matian usul saya itu. Hahah. Now… Let me tell you the fact=I am single. Because of God… In short time… I am here without him. =D

Oya, saya sempat kaget ketika beberapa minggu yang lalu saya memperhatikan kumpulan foto saya yang saya save di laptop saya ini, iya, saya menemukan foto (“Apa nama pulau ini, Anak-anak?” When=I was on school. Taken by=Jane C.) yang saya cantumkan di bawah ini=

Nah? Saya yang sedang memegang penggaris jelas-jelas sedang menunjuk pulau berbentuk burung di mana sekarang saya berada… Apakah semua yang terjadi ini, iya, apakah penunjukan saya di waktu itu dan penetapan saya di sini merupakan sebuah kebetulan? (^.~)y

.~~~.

8 April 2010? Setelah saya mengiyakan ajakan adik rohani dari Ayah dan Ibu saya ((Mama.) Cesilia Evy Rumengan.), yeah, ajakan Oom angkat saya ((Oom.) Finish W.) untuk berangkat ke Nabire tanpa pikir panjang, melakukan persiapan di dalam waktu beberapa hari, yayay, memperhatikan Ayah saya yang handal di dalam hal packing sedang memasukan harta benda kesayangan saya termasuk boneka hamster saya yang saya selalu bawa ke mana-mana dan saya beri nama, “Will.” ke koper dan ransel saya, mengucapkan, “I miss you, take care, and see you, All.” ke beberapa teman saya via sms termasuk, “Muach-muach.” ke anjing tercakep-terkeren and kelewat setia ke majikannya, hahah, anjing yang sok bersih and reseh ampun-ampunan ((Bunco.) Bruno Kiko.) via kecupan plus belaian… Sesudah saya menempuh perjalanan yang memakan waktu yang cukup lama, Malang-Surabaya dengan menggunakan mobil lalu Surabaya-Makasar-Ambon-Kaimana dengan menggunakan pesawat, menginap di Ambon untuk sejenak melepas lelah (Yupe, untuk semalam saja…) lebih tepatnya untuk menunggu adanya pesawat yang berikutnya untuk saya tumpangi di mana di keesokan subuhnya saya kabur dari pantauan Oom, yeah, Oom sedang tidur pulas untuk memandangi indahnya matahari terbit dari balik gunung dan mendengar lembutnya air laut bergerak (Di waktu itu air laut sedang berada di dalam keadaan tenang…) di pantai seorang diri di belakang penginapan dan di keesokan paginya saya dan Oom nyaris ketinggalan pesawat karena ketidak-sesuaian pencantuman jam keberangkatan di antara tiket kami dan patokan pihak bandara… Saya bertemu dan berkenalan dengan ketua yayasan Pesat (Pelayanan Desa Terpadu…) Nabire ((Bapak.) Edo .) di pesawat, di Kaimana, ketika menunggu pesawat take-off, yang pada akhirnya beliau mengajak saya untuk tinggal bersama keluarganya di Nabire… Wahah… 8 April 2010? THANKS A MILLION, GOD! Saya bisa merasakan betapa cerah-betapa teriknya matahariMu di sini, heheh, betapa panas-betapa melelehnya diri saya di sini. BECAUSE OF YOU, GOD, WHO MADE ALL THINGS AND WANTED TO HAVE MANY CHILDREN SHARE YOUR GLORY… Saya bisa ada di sini tanpa lecet, hahah, tanpa ketabrak benda asing di angkasa, well, dengan aman dan selamat, hohoh, dengan makmur dan sentosa! xD =) xD

.~~~.

Sebagai tambahan=

(“So heaven, right?”
Ambon, 8 April 2010.
Sayalah pemotretnya.
“Sorry, ngeblur, wkwkwk…”)


(“Bukan Aqua tapi Aidol…”
Ambon, 7 April 2010.)


(“Apa nama pondok ini ya? Forget!”
Ambon, 7 April 2010.)


(“Serba-serbi di Ambon o’oh Manise…”
Ambon, 7 April 2010.)

.~~~.

[Beginilah, my first letter (Singkat, padat, dan jelas kannn, eh, bersambung dulu yeee… Besok, 21 Juni 2010, saya pergi ke tempat hotspot lagi (By the way, di sini hotspotan dikenakan tarif 1 jam=Rp.10.000,00=tarif pemakaian komputer di warnet…) untuk mengirim email ke Ayah saya (Part 2 and 3…), nantikan, berita selanjutnya???)… Oya, forgive me, please… Karena entah kenapa saya menolak tawaran Ayah saya untuk membawa kamera miliknya dan sekalipun di Malang saya sudah menyempatkan waktu untuk membeli dan menggunakan baterai ponsel yang baru, yang ada…selama di perjalanan, “ Battery low-battery low.” jadilah saya susah mengabadikan apa-apa saja yang saya temui, peaaace, saya berhutang nih? Nanti ketika saya pulang ke Jawa, kan rutenya bisa jadi Kaimana-Ambon-Makasar-Surabaya…, okay…, saya pastikan saya potret ini dan itu sebanyak mungkin! ^,^;]


Indonesia, Papua, Nabire,
di asrama Yudea-Pesat,
dan
di depan kamar Kak Vido-Melda,
di siang bolong yang HOOOT,
17 Juni 2010…
With love,
Maria Aldia Vidianthi
-Aldee-
-MariaAldiaVidianthi@yahoo.com-
-Xo_Chic@yahoo.com-
–Blog=www.MariaAldiaVidianthi.blogspot.com–
–YM=MariaAldiaVidianthi@yahoo.com–
–Friendster=MariaAldiaVidianthi@yahoo.com dan Xo_Chic@yahoo.com–
–Facebook=Xo_chic@yahoo.com–