Posted by: hagemman | July 10, 2009

ISMATILLAH A. NU’AD : MENYOAL SISI NEGATIF QUICK COUNT

pic.phpTengah hari pada hari pilpres kemarin (8/7), beberapa lembaga survei telag mengumumkan hasil quick count. Di antaranya, LSI (Mega-Pro 26,5 persen ; SBY-Boediono 68,5 persen ; JK-Win 12,6 persen), Lingkaran Survei Indonesia (Mega-Pro 27,3 persen ; SBY-Boediono 60 persen ; JK-Win 12,6 persen), LRI (Mega-Pro 27,1 persen ; SBY-Boediono 59,6 persen ; JK-Win 12,6 persen), dan LP3ES (Mega-Pro 27,6 persen ; SBY-Boediono 59,9 persen ; JK-Win 12,4 persen).

Dari keempat lembaga survei itu, jelas pasangan SBY-Boediono diprediksi memenangi satu putaran saja. Apa signifikansi hasil quick count tersebut terhadap pilpres yang proses penghitungannya baru akan dimulai ? Di satu sisi, setidaknya hasil itu telah membuktikan wacana yang selama ini berkembang, yakni persoalan pilpres satu putaran saja. Di sisi lain, hasil survei tersebut jelas mengendurkan para capres yang berlaga. Meskipun quick count bukanlah hasil akhir karena masih sebatas prediksi, sejujurnya hasil itu membuat shock sebagian kalangan, terutama pasangan capres dan pendukungnya.

Pertanyaan pentingnya, sejauh mana tingkat independensi sekian lembaga survei yang melakukan quick count tersebut ? Apakah benar-benar independen ataukah benar anggapan serta opini masyarakat umumnya selama ini yang menyebut bahwa lembaga survei itu hanyalah kepanjangan tangan kepentingan politik penguasa ? Hal itu penting dicermati supaya proses demokrasi dalam masyarakat tidak dinodai kehadiran lembaga survei. Di satu sisi, lembaga survei memang masih dibilang baru dan perannya oleh sebagian kalangan sangat dibutuhkan. Di sisi lain, hendaknya kepercayaan tersebut tidak dinodai oleh penggiat lembaga survei.

Selama ini, eksistensi lembaga survei muncul ke permukaan dan popularitasnya sangat dominan di masyarakat. Surveri-survei maupun polling-polling yang telah dilakukan, baik untuk pemilu legislatif maupun pilpres sekarang, sejujurnya sangat mempengaruhi opini publik. Begitu pula, pada pemilu-pemilu lokal untuk memilih gubernur maupun bupati, lembaga survei selalu berada di harda depan untuk melakukan survei maupun polling. Pendeknya, semua lembaga survei naik daun dan diminati tim-tim sukses, baik dari parpol maupun calon-calon pemimpin.

Tak kurang, tingkat popularitas lembaga survei juga dibarengi kontroversi yang menyelimuti. Misalnya, masyarakat luas menganggap lembaga tersebut tidak netral dari politic of interest tim sukses untuk memenangkan pemilihan. Selain itu, kinerja lembaga survei dianggap hanya menjadi the opinion makers, yang hendak mempengaruhi pemilih terhadap salah satu parpol maupun calon pemimpin. Tak ayal, lembaga survei tidak malah menumbuhkan iklim demokratisasi publik, melainkan menebar kebohongan publik lewat hasil-hasil survei maupun polling yang dibuat.

Di Amerika, sebagai negara bapak demokrasi, kontroversi lembaga survei ternyata juga terjadi. Lembaga survei dianggap lebih tertarik pada industrialisasi dan bisnis atau pembentukan opini publik dengan menarik perhatian media massa ketimbang mengungkap opini publik yang sesungguhnya. Salah satu lembaga survei terbesar di AS bernama Gallup Poll yang dianggap sebagai think-tank pembentukan opini publik lewat survei maupun pollingnya. Gallup ditengarai berselingkuh dengan kekuasaan yang menginginkan tercapainya kesuksesan politik di Negara Paman Sam.

Lewat buku berjudul The Opinion Makers : An Inside Exposes The Truth Behind The Polls (2008), misalnya, yang ditulis David W. Moore, terbongkar kebobrokan lembaga survei tersebut. David adalah mantan orang dalam Gallup Poll yang seakan-akan berbalik arah (trun around) menguliti lembaga survei paling kontroversial tersebut.

Buku yang ditulis David ini nyaris mirip dengan karya John Perkins (Confession of an Economic Hitman, 2005), yakni kesaksian orang dalam yang mencoba “bertobat”, lalu mendeskripsikan kebobrokan lembaga yang semula menjadi tempat kerjanya. David W. Moore pernah bekerja di Gallup sejak Maret 1993 sampai April 2006. Pada 2008, bukunya tersebut terbit pertama kali di AS dan langsung direspon para penggiat lembaga-lembaga survei di sana. David dianggap telah menjilat ludahnya sendiri karena mengisahkan kinerjanya selama ini. Kontroversi Gallup Poll saat ia masih bekerja adalah sewaktu Konvensi Partai Republik. Saat itu, Bush unggul 3 persen, lalu naik 7 persen setelah konvensi, kemudian bertambah lagi 6 persen sepuluh hari berikutnya hingga akhirnya mengungguli elektabilitas Senator John Kerry dari Partai Demokrat dengan 55 persen versus 42 persen.

Lembaga seperti Gallup Poll sebenarnya menjadi renungan bagi lembaga survei di negara kita supaya melakukan kinerja secara lebih profesional dan bersikap independen. Di satu sisi, masyarakat Indonesia masih membutuhkan survei. Di sisi lain, kepercayaan itu hendaknya tidak disalahgunakan. Sebab, bagaimana pun, Indonesia baru dua kali melaksanakan pemilu yang benar-benar secara langsung dan demokratis. Kiranya awal ini tdak dinodai dengan lembaga survei yang bekerja tidak profesional, melainkan demi industrialisasi dan binis semata.

Hasil lembaga survei ditengarai membingungkan masyarakat. Kondisi tersebut membuat masyarakat kurang percaya terhadap hasil survei yang dinilai tidak independen lagi. Terbukti, sejumlah lembaga survei terkesan menggiring opini publik ke arah kontestan pilpres tertentu. Padahal, hasil survei merupakan salah satu instrumen penting dalam demokrasi. Karena itulah, sudah seharusnya hal tersebut tidak dicederai oleh perilaku para penggiat lembaga survei.

Jika merasakan impresinya, secara perlahan masyarakat tampaknya mulai sadar dan berhati-hati terhadap lembaga survei. Mereka lambat laun tak mau terpengaruh lagi oleh opini. Semoga ini akan menjadi titik di mana masyarakat benar-benar menjadi demokratis dan lembaga survei akhirnya benar-benar bekerja secara profesional dan independen.

Sumber :

Ismatillah A. Nu’ad : Menyoal Sisi Negatif Quick Count | Jawa Pos, 09.07.2009


Leave a comment

Categories